Pages

Kamis, 01 Mei 2014

Shalat Saat Mendaki Gunung


Dalam berkegiatan alam bebas dan utamanya pendakian gunung, sesuai pengalaman, bagi yang beragama Islam tentu tak ingin ( atau justru melupakan? ) lupa sholat serta tak menjadi alasan apapun untuk meninggalkan sholat. Tetapi bagaimana caranya, sering menjadi pertanyaan bagi para pendaki gunung.

Hal yang penting, tetapi kadang sering di lupakan jika kita berada di alam bebas, yang biasanya menjadi sebab alasan karena lokasi dan sulitnya mencari air untuk ber wudhu, serta juga pakaian yang kita rasa tak pantas untuk sholat karena kotor oleh alam. Berikut ini pertanyaan - pertanyaan berdasar pengalaman tentang mengadakan sholat saat berada di pendakian gunung.

Bolehkah sholat fardhunya dijama ? Sebagai catatan, di gunung biasanya selama 3 hari 2 malam. Kadang juga kita selalu ditimpa hujan seharian, sehingga kedinginan, sulit untuk sholat. Shalat fardhu boleh dijama` bila kita dalam keadaan safar / melakukan perjalanan. Mendaki gunung termasuk salah satu bentuk perjalanan yang bisa dijadikan dasar dari menjama sholat.

Selama di gunung biasanya sepatu selalu dipakai dan kita dikejar waktu untuk mencapai target. Bisakah sholat dengan menggunakan sepatu? Jika bisa, bagaimana wudhunya? Seorang yang sholat boleh dalam kondisi sedang mengenakan sepatu, maksudnya pakai sepatunya sebelum sholat, bukan saat sedang sholat. Jadi waktu sedang sholat, sepatunya dalam keadaan terpakai.

Sedangkan wudhu nya, kita cukup mengusap bagian atas sepatu itu dengan air, tanpa membuka sepatunya. Praktek ini dikenal dalam fiqoh dengan istilah al-Mashu Alal Khuffain , yaitu membasuh khuf ( sepatu ) sebagai ganti mencuci kaki dalam wudhu.

Dalilnya adalah bahwa ketika Rasulullah SAW berwudhu, salah seorang sahabat mengambilkan air wudhu untuknya, ketika giliran mencuci kaki dan sepatu masih dikenakan, beliau mengatakan, Biarkan kakiku itu ( tidak perlu dilepas sepatunya ). Karena ketika aku mengenakan sepatu, kakiku dalam keadaan suci ( dalam keadaan wudhu ).

Praktek seperti ini memang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dahulu. Dan menjadi bagian dalam tata aturan berwudhu terutama bila dalam keadaan udara yang sangat dingin. Sebagian ulama ada membolehkannya hanya pada saat safar ( bepergian ). Namun yang benar adalah baik dalam keadaan safar atau tidak, bisa diberlakukan.

Caranya sama dengan wudhu biasa kecuali hanya pada ketika hendak mencuci kaki, maka tidak perlu mencopot sepatu, tapi cukup membasuh bagian atas sepatu dari bagian depat terus ke belakang sebagai ganti dari cuci kaki. Sepatu tetap dalam keadaan dipakai dan tidak dilepas.



Untuk dibolehkannya tidak mencuci kaki dalam wudhu dan hanya mengusap bagian atas dari sepatu, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi :

Sebelumnya harus sudah berwudhu dengan sempurna. Setelah itu bila batal wudhu nya, maka ketika berwudhu lagi, tidak perlu mencuci kaki tapi hanya mengusapkan air ke bagian atas sepatu. Sepatu yang digunakan haruslah yang menutupi hingga mata kaki dan bukan terbuat dari bahan yang tipis tembus air. Juga tidak boleh ada bagian yang bolong / robek.

Untuk musafir, boleh melakukan seperti itu selama masa waktu tiga hari. Sedangkan buat yang tidak musafir, masa berlakunya hanya sehari dan semalam. Semua itu selama dia tidak mencopot sepatunya. Adapun bila dalam masa itu dia mencopotnya, maka batallah masa berlakunya baik yang sehari semalam atau tiga hari. Semua yang membatalkan wudhu otomatis membatalkan wudhu dengan mengusap pada sepatu.

Ketika wudhu, bagian mana saja yang wajib dan yang sunah dibasuh? Bolehkah kita hanya membasuh yang wajib saja? Karena air di gunung sangat dingin sekali, atau sebaliknya, ada yang sangat panas sekali. Sehingga enggan untuk menyentuh air.

Dalam berwudhu, anggota badan yang wajib untuk dibasuh adalah wajah, kedua tangan hingga batas siku, mengusap ( sebagian ) kepala dan mencuci kaki hingga batas mata kaki. Masing - masing wajib dibasuh / diusap sekali saja. Kalau dua atau tiga kali sifat hanya sunnah. Namun bila kondisinya sangat dingin dan khawatir menyebabkan penyakit, maka kita boleh melakukan tayammum. Yaitu dengan menyapu wajah dan tangan dengan tanah / debu sebagai ganti dariwudhu.

Lalu bagaimana cara buang air besar / kecil ketika tidak ada air di sekitar kita dan tidak ada WC selama di gunung?. Ya terserah kita maunya bagaimana. Tapi kalau bertanya bagaimana istinja ( cebok ) nya, maka dalam fiqih dikenal istilah Istijmar, yaitu beristinja bukan dengan air tapi dengan benda - benda padat lainnya seperti batu, kayu dan lain - lainnya.

Praktek aslinya dahulu di masa Rasulullah SAW lebih banyak menggunakan batu. Yaitu tiga buah batu yang berbeda yang digunakan untuk membersihkan bekas - bekas yang menempel saat buang air. Dasarnya adalah hadits Rasulullah SAW :

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Siapa yang beristijmar ( bersuci dengan batu ) maka hendaklah berwitir ( menggunakan batu sebanyak bilangan ganjil ). Siapa yang melaksanakannya maka dia telah berbuat ihsan dan siapa yang tidak melakukannya tidak ada masalah. HR. Abu Daud, Ibju Majah, Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Hibban. Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila seorang kamu datang ke WC maka bawalah tiga buah batu, karena itu sudah cukup untuk menggantikannya. HR. Abu Daud, Baihaqi dan Syafi`i. Janganlah salah seorang kamu beristinja kecuali dengan tiga buah batuHR. Muslim.

Sedangkan selain batu, yang bisa digunakan adalah
semua benda yang memang memenuhi ketentuan dan tidak keluar dari batas yang disebutkan :

a. Benda itu bisa untuk membersihkan bekas najis.
b. Benda itu tidak kasar seperti batu bata dan juga tidak licin seperti batu akik, karena tujuannya agar bisa menghilangkan najis.
c. Benda itu bukan sesuatu yang bernilai atau terhormat seperti emas, perak atau permata. Juga termasuk tidak boleh menggunakan sutera atau bahan pakaian tertentu, karena tindakan itu merupakan pemborosan.
d. Bendai itu bukan sesuatu yang bisa mengotori seperti arang, abu, debu atau pasir.
e. Benda itu tidak melukai manusia seperti potongan kaca beling, kawat, logam yang tajam, paku.
f. Jumhur ulama mensyaratkan harus benda yang padat bukan benda cair. Namun ulama Al-Hanafiyah membolehkan dengan benda cair lainnya selain air seperti air mawar atau cuka.
g. Benda itu harus suci, sehingga beristijmar dengan menggunakan tahi / kotoran binatang tidak diperkenankan. Tidak boleh juga menggunakan tulang, makanan atau roti, kerena merupakan penghinaan.

Intinya, dalam kondisi yang memang sangat dingin sehingga untuk menyentuh air pun anda akan ‘mati beku’, maka sekali lagi tayammum bisa menjadi andalan. Karena tayammum itu bukan hanya mengangkat hadats kecil saja tetapi juga sekaligus hadats besar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates